PerKlik.com — Dunia Katolik mencatat sejarah baru pada Kamis (8/5), ketika Kardinal Robert Francis Prevost asal Amerika Serikat resmi terpilih sebagai Paus baru dan mengambil nama Paus Leo XIV. Ini adalah kali pertama dalam sejarah Gereja Katolik seorang warga negara Amerika Serikat naik tahta sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik dunia.
Terpilihnya Kardinal Prevost terjadi di tengah ketegangan politik global, terutama menyangkut kebijakan imigrasi Amerika Serikat yang menjadi sorotan Vatikan dalam beberapa tahun terakhir. Sebelum menduduki posisi tertinggi di Takhta Suci, Prevost dikenal sebagai salah satu suara gerejawi yang vokal dalam mengkritik kebijakan keras Presiden Donald Trump dan Wakil Presidennya, JD Vance, terutama terkait isu deportasi migran.
Kritik Tajam Sebelum Jadi Paus
Dalam beberapa unggahan di platform X (dulu Twitter), Prevost menentang keras kebijakan yang ia nilai tidak sejalan dengan nilai-nilai Katolik tentang kasih sayang dan perlindungan terhadap kaum rentan. Salah satu unggahan Prevost yang paling banyak dibagikan adalah tautan artikel opini dari The Washington Post tahun 2015 berjudul “Kardinal Dolan: Mengapa Retorika Anti-Imigran Donald Trump Begitu Bermasalah”.
Kritik ini berlanjut hingga 2024, meski dalam tahun tersebut Prevost cenderung absen dari media sosial. Dalam tiga unggahan yang menjadi sorotan publik, ia mengkritik pandangan JD Vance tentang agama, serta membagikan berita yang membantah legitimasi moral atas deportasi besar-besaran migran. Ia bahkan me-retweet kecaman terhadap pernyataan Trump dan Presiden El Salvador Nayib Bukele dalam kasus deportasi Kilmar Abrego Garcia, seorang warga negara El Salvador yang bermukim di Maryland.
JD Vance, yang pindah keyakinan menjadi Katolik pada 2019, sempat mengutip ajaran Katolik abad pertengahan untuk membenarkan kebijakan imigrasi pemerintahan Trump. Namun, pendekatan ini dibantah oleh pendahulu Paus Leo XIV, yakni Paus Fransiskus, dalam surat terbuka kepada para uskup Amerika pada Februari lalu.
Hubungan Tegang Vatikan dan Washington
Ketegangan antara Vatikan dan Gedung Putih bukan hal baru. Paus Fransiskus kerap mengkritik tajam rencana deportasi massal, pemangkasan bantuan luar negeri, dan kebijakan kesejahteraan domestik AS di bawah Trump. Meski begitu, JD Vance tetap menjadi salah satu pejabat AS terakhir yang sempat bertemu dengan Paus Fransiskus sebelum beliau wafat di usia 88 tahun.
Kunjungan Vance ke Vatikan, yang berlangsung sehari sebelum wafatnya Fransiskus, dipandang banyak pihak sebagai momen simbolik yang menggambarkan jarak ideologis yang tetap tajam meski dalam bingkai diplomasi keagamaan.
Respons Politik dan Harapan Baru
Hingga Kamis malam, Gedung Putih belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait catatan kritis Paus Leo XIV terhadap pemerintahan Trump-Vance di masa lalu. Namun Donald Trump sendiri melalui platform Truth Social memberikan ucapan selamat yang cukup diplomatis.
“Selamat kepada Leo XIV atas terpilihnya sebagai Paus Amerika Pertama. Saya yakin jutaan umat Katolik Amerika dan umat Kristen lainnya akan berdoa untuk keberhasilannya dalam memimpin gereja. Semoga Tuhan memberkatinya!” tulis Trump.
Pengamat menilai, komentar Trump tersebut menunjukkan upaya menjaga citra di mata pemilih Katolik menjelang Pilpres AS 2026, meski hubungan pribadinya dengan Leo XIV diwarnai kritik tajam di masa lalu.
Jalan Sulit di Depan
Kini, dengan mengenakan jubah putih dan nama baru, Paus Leo XIV menghadapi tantangan besar. Selain mengonsolidasikan Gereja di tengah dunia yang makin terfragmentasi, ia juga ditantang untuk menjaga keseimbangan antara nilai spiritual Katolik dan realitas geopolitik global—khususnya dalam isu migrasi dan keadilan sosial.
Apakah masa lalu vokalnya akan memengaruhi relasi Vatikan dan Washington? Atau justru memberi napas baru bagi Gereja Katolik dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan? Dunia menanti langkah-langkah pertama dari Paus asal Chicago ini.(Tim)
Tidak ada komentar