Minim Waktu dan Kewenangan, KPU Akui Sulit Verifikasi Ijazah Peserta Pemilu: DPR Usul Sistem Ad Hoc

admiin
10 Mei 2025 18:42
Nongkrong 0 69
3 menit membaca

PerKlik.com – Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengakui adanya keterbatasan waktu dan kewenangan dalam melakukan verifikasi keaslian ijazah para calon peserta pemilu. Pernyataan ini memicu sorotan publik terhadap mekanisme seleksi calon legislator, terutama menyangkut validitas dokumen administrasi yang diajukan.

Ketua KPU Mochammad Afifuddin menyebut pihaknya kerap berada dalam posisi serba salah. Pasalnya, saat terjadi persoalan ijazah palsu atau tidak sah yang baru terungkap setelah tahapan pemilu berjalan, publik cenderung menyalahkan KPU meski mereka bekerja di bawah tekanan waktu dan keterbatasan kewenangan.

“Kadang-kadang kami juga punya kurang waktu, dan kurang kewenangan juga untuk menyatakan ijazah ini asli atau tidak. Keringetan kami juga nggak selesai-selesai,” ujar Afifuddin saat menghadiri kegiatan bersama Bawaslu di Jakarta Pusat, Kamis (8/5/2025).

Pernyataan tersebut sontak menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk legislatif. Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, memberikan tanggapan serius terkait masalah ini. Menurutnya, diperlukan reformasi struktural dalam tubuh KPU, terutama di tingkat daerah, agar proses administrasi pemilu dapat berjalan lebih efektif dan akuntabel.

Dede mengusulkan agar kepanitiaan KPU di daerah mengadopsi sistem kerja ad hoc yang terbagi secara spesifik antara rezim Pemilu dan rezim Pilkada. Sistem ini diharapkan mampu memberikan ruang kerja yang lebih fleksibel, efisien, dan terstruktur, sehingga setiap tahapan pemilu dapat dijalankan dengan lebih optimal.

“Saat ini, dengan kondisi keuangan dan beban kerja yang ada, maka salah satu solusi ke depan adalah memikirkan agar kepanitiaan KPU di daerah bisa bersifat ad hoc sesuai rezimnya. Ada ad hoc rezim Pemilu dan ada ad hoc rezim Pilkada, sehingga pola kerjanya benar-benar efektif dan efisien serta memiliki waktu kerja yang sesuai,” ujar Dede kepada wartawan, Sabtu (10/5/2025).

Lebih lanjut, Dede menjelaskan bahwa dengan membagi struktur kerja ad hoc ini, proses evaluasi juga bisa dilakukan secara berkala dan menyeluruh. Artinya, pengalaman dan kelemahan yang terjadi di Pemilu bisa dikaji dan diperbaiki saat memasuki tahapan Pilkada, begitu pun sebaliknya.

“Melalui sistem ad hoc tadi, bisa saja petugas dari rezim Pemilu dievaluasi dan pada rezim Pilkada diberikan kesempatan untuk memperbaiki. Ini menjadi siklus evaluasi yang bermanfaat bagi perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu ke depan,” jelas mantan Wakil Gubernur Jawa Barat ini.

Tak hanya soal struktur kerja, Dede juga menyoroti pola rekrutmen petugas di lingkungan KPU. Ia mengingatkan agar proses seleksi dilakukan dengan mempertimbangkan kapasitas dan kompetensi calon, bukan sekadar berdasarkan rekomendasi pihak-pihak tertentu yang tidak relevan dengan tugas penyelenggaraan pemilu.

“Rekrutmen harus menjamin bahwa yang dipilih adalah mereka yang kompeten. Bukan sekadar merekomendasikan seseorang tanpa kompetensi. Karena yang dipertaruhkan adalah kualitas demokrasi kita,” tegasnya.

Ia juga menekankan pentingnya pengaturan jadwal antara Pemilu dan Pilkada agar tidak berdekatan. Menurutnya, jadwal yang terlalu mepet menyebabkan lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan evaluasi dan persiapan secara matang.

“Penting ke depan untuk memberi jarak yang signifikan antara rezim Pemilu dan rezim Pilkada, agar KPU dan Bawaslu bisa bekerja lebih maksimal,” pungkasnya.

Isu mengenai ijazah palsu atau tidak sah memang bukan hal baru dalam dunia politik Indonesia. Beberapa kasus mencuat ke publik usai kandidat terpilih, bahkan dilantik, padahal kemudian diketahui menggunakan dokumen yang diragukan keasliannya. Dalam konteks ini, KPU sebagai lembaga teknis pelaksana pemilu sering kali menjadi kambing hitam, meskipun keterbatasan regulasi dan waktu jelas menjadi penghalang.

Usulan dari DPR untuk menguatkan struktur ad hoc di tingkat daerah bisa menjadi titik awal perbaikan sistem. Namun, pelaksanaannya tentu membutuhkan kajian lebih lanjut, terutama dari sisi anggaran, regulasi, dan kesiapan sumber daya manusia. Di sisi lain, masyarakat juga diharapkan berperan aktif dalam mengawasi proses pemilu agar tetap bersih, jujur, dan adil.(Tim)

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *